SIARAN BERKETIDAK”ADIL”AN BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

Oleh: Bimo Andrio




Juni lalu saya pulang ke kampung halaman saya di Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara. Hal tersebut menjadi momen yang menyenangkan sekaligus menyebalkan bagi saya, terutama karena hari raya idul fitri tahun ini bertepatan pada musim piala dunia. Tidak karena saya membenci siaran olahraga sepakbola namun sebaliknya, karena saya menyukai siaran sepak bola. Inilah kenyataan yang terjadi di empat juta rumah tangga di Indonesia yang siarannya televisi dirumahnya harus mengalami penyensoran atau yang lebih dikenal dengan istilah “diacak”.
Sebagian besar penduduk di Indonesia merupakan masyarakat yang tinggal di desa yang jauh dari pemancar stasiun televisi yang saat ini hanya tersedia di ibu kota provinsi. Area yang tak terjangkau ini lebih sering disebut ruang kosong dimana tranmisi sinyual analog dari pemancar televisi tidak mencapai kawasan tertentu. Tidak tanggung-tanggung ada tiga puluh dua ribu desa di Indonesia yang tidak tersentuh siaran dari pemancar stasiun televisi.
Banyak orang yang tidak mengerti masalah ini, khususnya masyarakat perkotaan yang sudah biasa menggunakan antena analog ataupun siaran televisi berlangganan, namun bagi empat juta rumah tangga tadi hal ini merupakan hal yang sangat krusial karena televisi merupakan sumber informasi yang paling banyak digunakan pada daerah yang bahkan tidak memiliki sinyal broadband atau internet.
Masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagi petani, nelayan, dan buruh ini harus mendapatkan akses yang sama seperti rakyat Indonesia lainnya. Karena pada dasarnya frekuensi televisi bukanlah barang komoditi, melainkan sumberdaya alam yang harus dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat.
Nah sekarang siapa yang memanfaatkan hal tersebut, perusahaan media atau pemerintah? dan apakah sudah dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat?
 Pertanyaan tersebut mungkin bisa dijawab secara opini tanpa riset dan sudah pasti jawaban tersebut benar. Asosiasi Pengusaha Multimedia Indonesia (APMI) sendiri menyatakan bahwa hal ini terjadi akibat banyaknya perusahaan pay televisi berbayar yang beroprasi di Indonesia saat ini, yaitu 695 perusahaan. Perusahaan tersebut memberikan pelayanan kepada para penggunanya dan memblok siaran tertentu. Hal tersebut diperparah dengan realita bahwa perusahaan televisi berbayar yang beroperasi saat ini adalah perusahaan channel televisi free to air di Indonesia.  
Kembali lagi ke cerita saya semasa libur lebaran tahun ini. Akhirnya, setiap malam saya pergi ke warung makan yang memasang televisi berbayar hanya untuk mendapat siaran piala dunia sekaligus meraup keuntungan dari pengunjung yang datang dari setiap sudut kampung. Meskipun blokade semacam ini bisa membangun ekonomi masyrakat pada musim tertentu, namun pandangan saya hal ini tetap merupakan ketidak adilan yang pemerintah hingga saat ini belum bisa tuntas kan. (Bimo)

Artikel asli kolom ini bisa di unduh melalui link berikut.


Komentar